Berita9 - Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama, pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figure agamawan yang tangguh dan mempu memainkan peran dan membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum.
Artinya, akselerasi mobilitas vertical dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas. Untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.
Artinya, akselerasi mobilitas vertical dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas. Untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.
Padahal, ditengah gegap gempita dan kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren –sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini-, tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri melulu pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Pesantren dituntut untuk senantiasa apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan.
Pragmatisme budaya yang kian menggejala sejatinya bisa dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut. Bukanya malah menutup diri, pesantren sejatinya membuka sekaligus menjajaki perubahan dan pada saat yang sama, pesantren harus proaktif dan memberikan ruang bagi pembenahan.
Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadapan ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang apriori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya.
Fenomena “menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994) mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya.
Pada tahun 1934, KH. Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.
Pada tahun 1934, KH. Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.
Dalam konteks inilah pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkaiterat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat. Perlu ditegaskan di sini bahwa, modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substasi pendidikan pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral pesantren.
Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan. Dengan pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan efisien dapat dipastikan pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampakmulai apatis, untuk tidak mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.