Berita9 - Indonesia sebagai negara satu-satunya didunia yang memiliki system pendidikan pesantren, seharusnya mampu menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bergensi dan bersaing dengan pendidikan formal lainnya didalam maupun luar negeri. Selama ini, masyarakat lebih disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan akan lembaga pendidikan formal yang bergensi. Bila mendengar nama pesantren maka yang timbul adalah sikap apatis dan berusaha menjauhkan keluarganya dari lingkungan pesantren.
Padahal pesantren telah terbukti dan mampu memberikan pembinaan dan pendidikan bagi para santri untuk menyadari sepenuhnya atas kedudukannya sebagai mansuia, mahluk utama yang harus menguasai alam sekelilingnya. Hasil pembinaan pondok pesantren juga membuktikan, bahwa para santri menerima pendidikan untuk memiliki nilai-nilai kemasyarakatan selain akademis, keberhasilan pondok pesantren dalam bidang pembinaan bangsa ini.
Sikap apatisme masyarakat terhadap lembaga pendidikan tertua di tanah air ini, seharusnya dijawab para pimpinan pesantren dengan sebuah aksi damai. Aksi tersebut bisa dengan kampanye di masyarakat luas bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang bukan melahirkan orang-orang bermental rusak, bertipe khianat dan mencoreng citra agama.
Tetapi pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu mencetak kader-kader bangsa menguasai ilmu dunia dan ilmu agama (tafaqquh fi al ddin) secara mendalam serta menghayati dan mengamalkan dengan ikhlas.
“Pesantren adalah tempat mencetak para manusia yang mengenal agama secara kaffa dan menguasai ilmu dunia untuk bekal karir duniawinya,” kata Drs.KH. Ma’rus Amien Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Group.
Dalam era global sekarang ini, seharusnya semua pimpinan pondok pesantren mampu untuk menjalin komunikasi secara priodik guna menciptakan langkah kongkrit dalam memberikan image positif.
Yang terpenting dari itu semua adalah adanya sebuah kerjasama yang kongkrit antar pondok pesantren satu dengan yang lainnya. Disadari atau tidak, pesantren adalah lembaga pendidikan yang salah satunya bersifat konsumtif. Lihatlah bagaimana pengasuh pesantren harus mempersiapkan kebutuhan konsumsi bagi para santrinya tanpa bisa berbuat lebih banyak lagi selain mendapat pasokan dari luar pesantren.
Hal itu seharusnya dapat terpecahkan apabila sesama pesantren mampu untuk bersikap mandiri dengan mengandalkan kerjasama bidang ekonomi. Cara yang paling mudah adalah menjadikan sebuah pesantren mampu memasok kebutuhan ke pesantren lainnya.
Sebagai contoh misalnya, pesantren A memproduksi beras yang akan di distribusikan ke masing-masing pesantren yang masuk dalam sindikasi perkumpulan pesantren. Maka, semua pesantren yang masuk dalam lembaga itu, hanya akan membeli beras dari pesantren A. Begitu pula, misalkan, pesantren B memasok kebutuhan sayur-sayuran, maka semua anggota sindikasi hanya akan membeli sayuran dari pesantren B. Belum kebutuhan seragam,kebutuhan perlengkapan santri, ikan, daging, buah-buahan dan sebagainya.
Setiap pesantren hanya dimungkinkan memasok satu item kebutuhan pesantren. Apabila system itu bisa dijalankan, maka diyakini ekonomi pesantren akan menjadi mandiri, sebab roda perputaran uang hanya akan terjadi di pesantren saja. Margin yang akan diraih dari masing-masing anggota sindikasi juga akan dapat dipergunakan untuk memperluas jaringan masing-masing pesantren. Itu dari segi ekonomi.
Kerjasama dengan lembaga diluar pesantren juga seharusnya sudah mulai dilirik para pengasuh pondok pesantren. Selama ini ditelinga kita akrab dengan agenda pertukaran pelajar (exchange students) antar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa selama ini kita tidak pernah mendengar program pertukaran santri antar Negara? Kalaupun ada jumlahnya masih kalah jauh dengan program yang sama untuk pendidikan umum. Inilah problem yang harus kita pecahkan bersama.
Betul selama ini negara seperti Amerika Serikat telah berhasil menggaet santri dari beberapa pondok pesantren mengikuti program exchange students tapi itu hanya bersifat temporer. Yang menyedihkan, program yang ditawarkan pun adalah program pendidikan yang bersifat umum seperti latihan dasar kepemimpinan, pengenalan budaya dan sebatas diskusi. Waktunya sangat terbatas hanya beberapa minggu.
Yang elegan adalah, exchange students itu dilakukan dengan menekankan penambahan ilmu dari lembaga yang sejalan. Katakanlah exchange students santri ke Al Azhar atau universitas Islam yang ada dibeberapa negara. Tidak hanya berhenti pada program itu, exchange teacher juga patut untuk direalisasikan.
Peluang-peluang menjadikan pesantren go public internasional sebenarnya terbuka lebar, kuncinya adalah kerjasama yang saling menguntungkan antar lembaga pondok pesantren. Tidak berhenti disitu, semua pimpinan pesantren harus melepaskan ego sentriknya demi kemajuan bersama. Dengan duduk bersama, membuat program, merealisasikan program dengan tujuan membesarkan pesantren didunia internasional, tidak mustahil, lembaga pendidikan ini akan menjadi salah satu pendidikan yang disegani di dunia. Ingat, hanya di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan pondok pesantren.