Ketua DMI DKI Jakarta KH. Syamsuddin M (paling kanan jas hitam) bersama Gub DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama melepas Marbot masjid berangkat umrah 19/12/2014 lalu
Berita9 - Radikalisme di Indonesia sebenarnya fenomena minoritas dibandingkan dengan arus utama Islam yang moderat di republik ini. Tapi, karena dipublikasikan secara besar-besaran maka menjadi sesuatu hal yang bombastis, apalagi mereka terdidik dan mampu 'membaca' media. "Parahnya fenomena itu seolah dibiarkan begitu saja oleh alat negara," kata Ketua Dewan Masjid Indonesia DKI Jakarta KH. Syamsuddin M di Jakarta, Senin (19/01).
Ia mengemukakan hal itu menyongsong seminar Pemberdayaan dan Memakmurkan Lingkungan Masjid dengan salah satu pembahasannya mengambil tema Pencegahan Radikalisme Khususnya di Kalangan Remaja yang akan dilaksanakan pekan depan di Jakarta.
Perhelatan yang rencananya dihadiri Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronie F Sompie dan Kepala Bazis Jakarta. Peserta seminar berasal dari pengurus DMI se Jakarta, pengurus dan remaja masjid se Jakarta, pimpinan majelis taklim dan masyarakat umum.
Menurut Kyai Syam, pembiaran terhadap radikalisme akan dapat meningkatkan pengikut paham yang disiarkan terus-menerus oleh media massa itu. "Contohnya adalah pelarangan menghormat kepada bendera merah putih. Ajaran ini sebenarnya pada 1950-an sudah ada.
Padahal ini tidak terkait dengan tauhid, anehnya kok sekarang muncul lagi," ujarnya.Ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih halus agar Islam radikal mampu memahami kesalahan konsep ini. "Radikalisme dalam pemikiran tidak masalah, tapi jika sudah diwujudkan dalam sebuah aksi maka hal itu sudah harus dilarang secara tegas," tukasnya.
Dalam merespons fenomena itu, Kyai Syam mengajak publik untuk menyikapinya secara dewasa. Apalagi, radikalisme seringkali dimaksudkan sebagai bentuk protes kepada intervensi asing, namun mereka menerapkannya di negara sendiri.
"Perbedaan pendapat itu sebenarnya suatu hal biasa, yang jadi tugas kita adalah jangan menyalahkan orang yang berbeda pendapat, apalagi sampai mengkafirkan dan mengarah kepada anarkisme, sehingga mengakibatkan sentimen keagamaan yang berlebihan," tuturnya.
Dalam dunia pesantren, ajaran pesantren sudah mengajarkannya sejak dulu. "Dengan bermadzhab empat, santri di pesantren sebenarnya sudah diajari tentang pemikiran moderat. Bagaimana menghargai perbedaan pendapat," ucapnya.
Dengan kegiatan itu, DMI DKI Jakarta berharap nilai-nilai nasionalisme bisa tersemai dengan baik di kalangan remaja sekaligus juga merupakan upaya untuk memahami dan menangkal radikalisme di kalangan para tunas bangsa. (red/bhm/jamal)