Berita9 -
Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat
(Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani
mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah).
Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah)
dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman
yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh
umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan kaum Khawarij yang membolehkan
komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa
mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang
negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa
demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya
memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara.
Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut
bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk
negara tersebut.
Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai
bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan
serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
negara tersebut adalah:
A.
Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah :
فَمَا
أُوتِيتُم مِّن
شَيْءٍ
فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا
عِندَ
اللَّهِ خَيْرٌ
وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا
غَضِبُوا هُمْ
يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى
بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا
أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ
يَنتَصِرُونَ
Artinya
: "Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan
hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi
orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.
Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang
yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri. (QS Asy-Syura 42: 36-39)
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran
yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari
dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi
titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan
musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
B. Al-'Adl
(Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan
dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan
(hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Prinsip ini didasarkan pada
firman Allah :
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Artinya : Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. (QS An-Nisa' 4:58)
C. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
C. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan
bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka.
Hak-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan.
Kelima prinsip tersebut adalah:
Hak-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan.
Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa
(kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada
warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap
keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap
asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap
harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga
negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian
derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
D. Al-Musawah
(Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan
yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem
kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama
tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati
kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem
pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara
sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari
Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah
"demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana
hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak
menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara
menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi
percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang
mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak
dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan
dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah
(harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat
ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara
banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo
dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah
merupakan satusatunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada
pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam
haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat
Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini
mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but
pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan
umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak
bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy).
Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca:
demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari
kalangan non-muslim atau wanita.
Penulis :
Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj. MA
Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj. MA
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU)