Berita9 - Di banyak pesantren kitab-kitab literatur ilmu 'arudl—sebuah ilmu yang mempelajari syair Arab—masih banyak diajarkan. Seperti "Mukhtashar al-Syafi" karya Muhammad al-Damanhuri, "Jawahir al-Addab" karya Ahmad al-Hasyimi dan sebagainya. Biasanya santri-santri yang mempejari fan ini adalah mereka yang sudah lulus dari kelas nahwu tingkat "al-Imrithi".
Bagi yang belum mencapai tingkatan tersebut maka tidak diperkenankan mengkaji 'arudl sebab pembahasan yang disuguhkan agak rumit. Dalam 'arudl diterangkan bahwa bahr atau not lagu dalam bahasa Arab berjumlah 16 lirik. Di antaranya yang sering digunakan yaitu bahr al-rajaz.
Hampir seluruh kitab yang berbentuk nadzam (puisi, antonim natsar atau prosa) yang menjadi acuan di pesantren memakai bahr tersebut. Seperti Alfiyyah Ibni Malik, al-Imrithi, al-Maqsud, Jawahir al-Maknun, `Uqud al-Juman dan masih banyak lagi. Cara melagukan bahr ini cukup sederhana, yaitu dengan mengulang-ulang kalimat "mustafilun" sebanyak enam kali pada setiap baitnya. Seperti contoh di bawah ini:
مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ
قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكَِ أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ
قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكَِ أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ
Kendati ilmu 'arudl lahir di tanah Arab, bukan berarti kesusteraan bahasa `ajam (non Arab) tidak dapat dimasuki ilmu 'arudl. Kiai nusatara banyak mengarang Syair dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda juga Madura yang semuanya merujuk pada ilmu 'arudl tersebut. Perbedaannya, bila dalam bahasa Arab terdapat huruf mad (panjang) dan qashr (pendek) sedangkan bahasa `ajam tidak. Namun tetap saja serasi bila dinyanyikan.
Ada satu hal yang menjadi syarat sebuah syair. Yaitu harus adanya huruf-huruf yang sama di akhir kalimat. Entah di akhir setiap al-Shadr al-awwal dan al-Shadr al-Tsani seperti pengalan bait al-Fiyyah di atas, atau hanya sama pada al-Shadr al-Tsani di baitnya. Seperti Qashidah al-Burdah yang dikarang Imam Bushiri seluruhnya diakhiri dengan huruf mim berharakat kasrah. Dalam tata bahasa Arab ilmu yang konsentrasi di bidang ini disebut ilm al-qawafi.
Almaghfurlah Kiai Bisri Mustofa adalah salah satu sosok kiai nusantara yang banyak mengarang syair berbahasa Jawa. Salah satu karyanya yang amat kesohor ialah Tombo Ati. Bahkan saking tenarnya sampai banyak yang tidak tahu kalau sebenarnya syair yang pernah dilagukan Opick itu dikarang oleh ayahanda Gus Mus. Kini karya-karya beliau bisa dinikmati lewat dua buah antologi syairnya berjudul Ngudi Susilo dan Mitera Sejati yang telah diterbitkan oleh Menara Kudus.
Berikut cuplikannya dalam bahr al-rajaz:
Anak Islam kudu cita-cita luhur
Keban dunya akhirate biso makmur
Cukup ilmu umume lan agamane
Cukup dunya kanthi bekti pengerane
Berbeda dengan karya-karya Kiai Bisri yang lebih menanamkan pesan-pesan moral dan akhlakul karimah, syair karya Kiai Sya'roni Shalih, Magelang lebih menjurus pada ilmu fikih. Beliau melagukan bab salat lewat buah penanya yang begitu indah Syi'ir Pashalatan (Semarang: 1962).
Begitu pula Kiai Ahmad Hidayat Hasyim mengarang sebuah kitab syair bahasa Jawa tentang ubudiyah berjudul Hayya Ala Al Shalat. Bahkan, sebagai rasa cintanya kepada pondok Tebuireng yang pernah disinggahinya, kiai asal Sumobito, Jombang ini menyusun biografi panjang Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy'ari dalam bentuk syair berirama rajaz. Insya Allah karya tersebut akan segera dipublikasikan ke khalayak luas.
Belum bisa dipastikan siapa kiai nusantara pertama yang mengarang syair baik dalam bahasa Melayu atau Jawa. Maktabah Ahmad Nabhan, Surabaya pernah menerbitkan kitab Paras Nabi Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam yang berisikan syair Jawa diakhiri dengan shalawat al-Badriyyah. Kitab yang diduga dikarang oleh Kiai Ali Manshur, Tuban itu bertarikh hari Sabtu Wage 8 Shafar 1319 H atau sekitar 111 tahun silam.
Kitab itu jelas tidak bisa dijadikan acuan sebagai kitab syair pertama di nusantara, mengingat sangat banyak ulama terdahulu yang telah menempuh jalan ke sana. Syekh Hamzah Fanshuri, adalah ulama sekaligus sastrawan ulung asal Sumatera Selatan yang hidup pada abad 16. Kini sudah 32 judul syairnya telah dihimpun dalam The Poems of Hamzah Fansuri oleh Drewes dan Brakel. Salah satu syairnya berjudul Ikan Tunggal Bernama Fadhil yang terdiri atas tiga belas bait dan setiap baitnya terdiri atas empat baris:
Ikan tunggal bernama fadhil
Dengan air daim ia washil
'Isyqinya terlalu kamil
Di dalam laut tiada bersahil
Sebuah sajak ringan yang menyimpan makna dalam. Ikan pada syair di atas diartikan sebagai nur Muhammad yang memiliki fadl atau keutamaan. Sedangkan airnya diibaratkan Allah pemilik jagad raya. Maksudnya, Nur muhamad senantiasa dapat sampai dan bertemu (washil) dengan Allah. Baris ketiga diartikan sebagai cinta nabi kepada sang khalik yang amat mendalam. Sedangkan baris keempat merupakan kesimpulan yang dalam tasawuf bisa diartikan demikian "tidak mudah (tiada bersahil) bagi hamba Allah (ikan) untuk sampai dan bertemu Allah SWT."
Fathurrahman Karyadi,
Lulusan Mahad Aly Tebuireng dan peserta terpilih
Akademi Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014
(sumber : nuonline)